Monday 12 October 2009

the effect of global crisis

Sebagai akibat lanjut dari krisis sub-prime mortgage Departemen Keuangan Amerika mengambil alih perusahaan perumahan terbesar Fannie Mae dan Freddie Mac pada awal September ini. Yang lebih mengejutkan lagi adalah bangkrutnya Lehman Brothers dan Merrill Lynch (yang kemudian diakuisisi Bank of America). Walaupun bank sentral AS telah menyuntik pasar sebesar US$ 70 miliar, Indeks Dow Jones tetap jatuh 4,4%, atau terbesar sejak September 2001. Selanjutnya bursa-bursa Eropapun berjatuhan pada tanggal 15 September 2008.

Akhirnya Pemerintah Bush angkat tangan dan meminta Kongres menyetujui paket penyelamatan ekonomi berupa dana talangan pemerintah/bailout sebesar US$ 700 miliar pada tanggal 18 September 2008. Saat itu Kongres menolak yang direspon dengan terus bergejolaknya pasar saham dan diakhiri dengan turunnya indeks Dow Jones sebesar 778 poin, yang merupakan penurunan terbesar dalam sejarah pada tanggal 29 September 2008.

Walaupun Presiden Bush telah menandatangani Undang-undang Stabilisasi Ekonomi Darurat 2008 pada tanggal 3 Oktober 2008, bursa-bursa dunia terus meluncur ke bawah dan paling parah Indonesia. Bahkan, pada tanggal 8 Oktober pukul 11.06 WIB bursa saham Indonesia tutup sementara saat indeks 1.451,67, atau turun 10,3% dibandingkan hari sebelumnya.

Pada tanggal 27 Oktober, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun menjadi 1.166,4 dan rupiah anjlok ke level Rp 10.663/USD setelah sebelumnya pada 23 Oktober tembus nilai psikologis Rp 10.035/USD. Kondisi ini dianggap akan mengancam sektor finansial Indonesia, sehingga beberapa kebijakan diambil oleh pemerintah dan Bank Indonesia.


Kebijakan Yang Diambil

a. Pengamanan Pasar Finansial
Hal ini dilakukan dengan cara menghindari mark to market atas portofolio dalam bentuk Surat Utang Negara (SUN) serta memberi kebebasan emiten melakukan buyback pada satu hari bursa tanpa pembatasan pembelian dari volume perdagangan harian. Emiten juga diberi kesempatan untuk membeli kembali saham, terutama yang mengalami koreksi tanpa melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) saat IHSG anjlok dan perdagangan dihentikan otoritas bursa.

Disamping itu, pemerintah akan mempercepat pencairan belanja kementrian untuk melonggarkan likuiditas. Pemerintah juga dapat mengambil langkah hukum bagi pihak-pihak yang memunculkan rumor atau melanggar aturan dan menimbulkan kepanikan pasar saham. Revisi auto rejection (naik/turunnya harga saham maksimal hanya 10% dari sebelumnya 30%) juga diterapkan.

b. Pengamanan Likuiditas

Kebijakan ini direalisasikan dengan antara lain pemerintah akan menyediakan pasokan valas bagi korporasi, menurunkan rasio Giro Wajib Minumum (GWM) valas dari 3% menjadi 1%, pencabutan pasal 4 PBI No.7/1/2005 tentang batasan Posisi Saldo Harian Pinjaman Luar Negeri Jangka Pendek, penyederhanaan perhitungan GWM rupiah 7,5% dari Dana Pihak Ketiga (DPK) yang terdiri dari 5% GWM utama (statutory reserve) dan 2,5% GWyang menurut Menteri Keuangan sudah mencakup 90% dana pihak ketiga dan 97% rekening nasabah.

Kebijakan lain adalah turunnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Bank Indonesia (amandemen Pasal 11 UU No 3/2004) terkait dengan pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek, yang mana BI dapat menerima portofolio kredit yang berkolektibilitas lancar untuk dijadikan agunan pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek M sekunder (secondary reserve).
Kebijakan yang cukup melegakan nasabah bank adalah dinaikkannya jaminan dana nasabah dari Rp 100 juta menjadi Rp 2 miliar oleh Lembaga Penjamin Simpanan.

Dampak Ke Sektor Ekonomi

Jika dilihat pada survei persepsi pasar triwulan ketiga 2008 yang dilakukan oleh Bank Indonesia, nampak bahwa dunia usaha nampaknya masih optimis bahwa pertumbuhan ekonomi masih bisa mencapai level sedikit di atas 6,4% dengan tingkat inflasi 11,1%-12,0% dan nilai rupiah pada kisaran Rp 9.250-9.500/USD. Namun dengan melihat kondisi pasar finansial yang terus memburuk di permulaan triwulan keempat ini apakah ekonomi Indonesia masih akan dapat bertahan?

Dampak ke sektor ekonomi akan terjadi jika terjadi pelarian modal, yang mengakibatkan kurs rupiah melemah tajam dan suku bunga meningkat yang bertahan selama lebih daripada 3 bulan. Akibat anjloknya nilai rupiah, inflasi akibat impor (imported inflation) akan melonjak sehingga biaya produksi meningkat tajam. Kondisi ini akan mengakibatkan daya saing produk Indonesia menurun di pasar internasional karena harganya menjadi lebih mahal untuk mengejar naiknya harga bahan baku. Selain itu di dalam negeri juga akan tersaingi oleh produk sejenis dari negara-negara lain yang lebih murah harganya (Cina, Vietnam, dll).

Pada akhirnya, industri dalam negeri akan kesulitan berproduksi dan kondisi bertambah berat jika bank-bank juga untuk sementara menghentikan pemberian kredit melihat situasi yang kurang kondusif. Kemungkinan terburuk adalah ketidakmampuan industri untuk mengembalikan cicilan hutang kepada bank, yang pada akhirnya akan meningkatkan kredit bermasalah bank.

Menurut Chatib Basri (dalam Majalah Tempo, 26 Oktober 2008, hal 116-117) dampak krisis finansial yang bermula di AS mungkin agak lebih lambat dan kecil pengaruhnya pada ekonomi Indonesia, karena adanya integrasi jaringan produksi (production network) dimana negara-negara di Asia Tenggara banyak mengekspor bahan mentah dan barang antara ke pusat-pusat jaringan produksi seperti Cina, Korea dan Jepang. Walaupun demikian, karena konsumen akhir dari barang jadi itu juga negara-negara maju, cepat atau lambat Indonesia akan terkena dampak juga.

Perlambatan ekonomi AS juga akan menurunkan ekspor Indonesia ke AS yang sekitar 12 persen dari total ekspor Indonesia. Basri juga yakin bahwa ekonomi Indonesia akan terpengaruh dari sisi jalur finansial yang mungkin lebih besar daripada jalur perdagangan tadi. Karena kerugian akibat subprime mortgage yang berlanjut menjadi krisis finansial, lembaga-lembaga keuangan yang bermasalah tersebut akan memerlukan rekapitalisasi, yang implikasinya adalah menarik uangnya keluar dari berbagai negara. Para investor juga memindahkan asetnya ke instrumen yang lebih aman seperti US Treasury Bills dan obligasi pemerintah AS sehingga dolar menyusut jumlahnya di pasaran, sehingga beberapa mata uang terdepresiasi terhadap dolar.
Produk ekspor yang diperkirakan akan mengalami dampak akibat tingginya persaingan di pasar internasional terkait dengan pelemahan pasar di AS, Uni Eropa dan Jepang antara lain tekstil & produk tekstil (TPT), produk karet, produk kayu, pulp & kertas, minyak sawit dan produk-produk logam. Di sisi lain, sebagai pasar yang sangat potensial Indonesia dipastikan akan kebanjiranproduk impor terutama dari China, India, Singapura dan negara Asia lainnya yang mengalihkan pasar utama mereka dari AS ke Asia. Produk tersebut antara lain TPT, baja, produk elektronik, keramik, makanan & minuman serta produk kayu. Sementara itu rencana ekspansi industri baik berupa perluasan dan investasi terutama pada industri padat modal (baja, petrokimia, semen, alas kaki dan produk otomotif) diperkirakan akan ditunda menunggu kondisi kembali pulih.

Jika dilihat dari sisi fundamental ekonomi, sebenarnya dapat dikatakan bahwa kondisinya masih relatif kuat yang dicirikan oleh kredit bermasalah perbankan (Non Performing Loan/ NPL gross) yang lebih kecil daripada 5% yang menunjukkan masih sehatnya sistem intermediasi, Loan to Deposit Ratio (LDR) lebih kecil daripada 80% yang menunjukkan masih cukupnya likuiditas, Capital Adequacy Ratio (CAR) sekitar 16% (Agustus 2008) yang menunjukkan kuatnya permodalan bank, tingkat depresiasi rupiah lebih kecil daripada 5% yang menunjukkan stabilnya nilai rupiah, inflasi terkendali walaupun akhir-akhir ini melebihi angka psikologis 10%, cadangan devisa yang cukup untuk empat bulan impor (per 7 Oktober 2008 USD 52,4 miliar).

Walaupun demikian, sejumlah analis mempertanyakan beberapa masalah, misalnya ekonom Suharsono Sagir2 yang melihat bahwa kondisi fundamental ekonomi Indonesia sebenarnya masih kurang kuat karena pertumbuhan ekonomi selama beberapa tahun terakhir ini tidak mampu melebihi tiga kali pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk saat ini menurut Biro Pusat Staistik (BPS) adalah 2,6%, sehingga agar fundamental ekonomi kuat dibutuhkan 7,8% pertumbuhan ekonomi. Hal yang belum pernah tercapai selama beberapa tahun terakhir ini.

Disamping itu, kontribusi sektor manufaktur juga mulai menurun, sehingga akan memperlemah fundamental ekonomi. Misalnya di tahun 2006 kontribusi manufaktur terhadap pendapatan nasional mencapai 27,5 % namun turun menjadi 27% tahun 2007 dan saat ini menjadi 26%.



Dampak ke Perbankan Indonesia

Menurut Raden Pardede (Ketua Pelaksana Forum Stabilitas Sistem Keuangan, Departemen Keuangan RI) dampak krisis ini diperkirakan tidak terlalu besar karena portfolionya sebagian besar di sektor riil (kredit), tidak pada instrumen derivatif. Dampak ke perbankan lebih pada kesulitan mendapat credit line di perbankan internasional karena hilangnya kepercayaan pasar terhadap bank-bank, bukan kepada perbankan nasional sendiri.

Adapun perbedaan penanganan krisis perbankan 1998 dengan saat ini adalah adanya kelemahan fundamental ekonomi saat itu seperti nilai rupiah yang over-valued, cadangan devisa yang kurang kuat, serta sistem perbankan yang terlalu ekspansif memberi kredit, dengan melanggar legal lending limit sementara modalnya lemah.

Disamping itu, saat krisis sudah semakin parah, tidak ada garis pemandu untuk menanggulangi krisis, bahkan pemerintah saat itu masih sangat percaya diri bahwa fundamental ekonomi masih kuat padahal krisis sudah di depan mata dan tidak berbuat apa-apa hingga akhirnya rupiah tembus lebih dari Rp 15.000/USD. Akibatnya Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dimanipulasi dan berubah fungsi menjadi keuntungan bagi para pemilik bank nakal. Pemilik bank dan deposan tidak terlalu dirugikan karena adanya program penjaminan. Oleh karena itu wajar jika saat ini pemerintah belajar dari masa lalu dengan tidak mau menjamin deposan hingga lebih daripada Rp 2 miliar (kurang lebih 90% dari total DPK).

Saat ini pemerintah bersama Bank Indonesia relatif sangat responsif dengan dikeluarkannya kebijakan-kebijakan seperti tersebut di depan. Dampak utama dari krisis bagi bank adalah terjadinya perebutan dana terutama deposito setelah tahun ini bank-bank menggenjot tabungannya. Ini rasional bagi deposan mengingat pada kondisi krisis kecenderungan meraup bunga yang lebih tinggi yang paling mungkin tentunya dari deposito karena penanaman dana di pasar modal masih belum kondusif. Tentunya tenor yang paling disukai adalah yang singkat 1-3 bulan. Bank akan haus likuiditas akibat ekspansi yang besar di tahun 2008 ini. Per Agustus 2008 komposisi DPK adalah giro 26% (Rp 405 triliun), tabungan 29% (Rp 452 triliun) dan deposito 45% (Rp 676 triliun).
Dana-dana yang berasal dari lembaga keuangan non-bank seperti asuransi dan dana pensiun diperkirakan akan masuk ke perbankan karena masih trauma dengan penanaman dana di pasar modal. Hal yang harus diperhatikan bank terutama adalah nasabah dengan dana lebih dari Rp 2 miliar yang tidak dijamin LPS, yang tentunya rawan terhadap isu dan bisa menjadi pemicu terjadinya rush di bank.

Dampak lain dari krisis terhadap perbankan adalah: (i) kredit macet terutama di kartu kredit karena hal ini paling mudah dilakukan debitur; (ii) Kredit Perumahan (KPR) akan terhambat, kecuali kredit properti rumah/apartemen mewah dan kredit KPR untuk rumah pertama (Rp 150 juta sampai Rp 1 miliar); (iii) perusahaan multifinance akan kesulitan memperoleh kredit bank sehingga kredit otomotif dan barang elektronik akan terhambat juga. Sementara itu, kredit mikro Rp5 juta ke bawah akan semakin diminati namun juga menghadapi risiko yang semakin tinggi karena kredit ini bisa berubah penggunaan dari bisnis menjadi konsumsi, yang berakibat ketidakmampuan konsumen mengembalikan kreditnya.

Selain itu perbankan juga perlu mewaspadai kinerja debitur terutama di beberapa komoditas yang kinerjanya telah melemah antara lain TPT, produk kimia, produk elektronik, karet, coklat, kopi dan CPO.
















Grafik prediksi lajunya inflasi dan pertumbuhan BI-rate periode Januari 2008-Oktober 2009.




Kesimpulan

Krisis finansial yang bermula di AS saat ini dampaknya telah meluas ke seluruh dunia termasuk ke Indonesia. Dampak lanjutan dari krisis finansial ini diperkirakan akan mempengaruhi sektor riil. Ekonomi Indonesia diperkirakan akan terpengaruh oleh situasi ini, namun dampaknya diperkirakan tidak separah krisis 1998.














Referensi

www.detikfinance.com
www.danareksa-research.com
www.setneg.co.id
www.kompasiana.com
www.scribd.com

No comments:

Post a Comment