Monday 12 October 2009

Persepsi Komunikasi dan Kebudayaan Terhadap Etnis Tionghoa

Komunikasi dan Kebudayaan Etnis Tionghoa
 Persepsi Pribadi.
Persepsi pribadi saya terhadap warga keturunan Tionghoa bermacam-macam, walaupun saya dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkup keluarga keturunan Tionghoa yang masih berurat akar pada kebudayaan nenek moyang, terutama dari pihak ibu saya.
Warga keturunan Tionghoa merupakan orang Indonesia yang mempunyai garis keturunan Cina atau Tionghoa, baik secara langsung maupun yang sudah berlangsung lama, entah dari nenek/kakek, atau bahkan dari perkawinan antara sesama warga Tionghoa. Dari saya sendiri, saya mendapatkan garis keturunan Tionghoa dari kedua belah pihak, yaitu dari bapak dan ibu saya. Yang menjadi perbedaan adalah, ayah saya merupakan warga Jakarta keturunan Tionghoa. Dalam hal ini, banyak warga keturunan Tionghoa, yang tidak dapat berbicara bahasa asalnya baik lisan maupun tulisan. Kebanyakan hal ini terjadi karena silsilah keluarga sudah sangat jauh, dan telah menetap di Indonesia dalam kurun waktu yang cukup lama sehingga bahasa sehari-hari sudah bukan merupakan bahasa Mandarin atau dialek lain.
Sedangkan dari keluarga ibu saya, merupakan sebuah keluarga dengan keturunan langsung yaitu dari kakek saya yang bermigrasi dari RRC menuju ke Pulau Sumatra, tepatnya di kota Pematang Siantar. Di kota tersebut, perbendaharaan bahasa asal masih dijaga dengan penuh, berhubung penduduknya sebagian besar merupakan warga keturunan. Hal-hal yang menjadi dasar kekaguman saya terhadap masyarakat keturunan Tionghoa dari Pematang Siantar dan juga dari daerah-daerah lain, seperti Medan, Bangka, dan Padang antara lain, mereka masih benar-benar menghormati leluhur dan nenek moyang. Hal ini ditandai dengan ditempatkannya altar-altar persembahan berikut hio untuk dibakar yang ditujukan kepada leluhur atau sanak keluarga yang sudah meninggal. Hal ini merupakan hal yang lumrah diadakan setiap hari, biasanya diadakan pada pagi hari sebelum memulai kerja, dan malam hari ketika semua penghuni rumah sudah berada di rumah.
Yang menjadi puncak kekaguman saya adalah, walaupun para anggota keluarga sudah mempunyai agama masing-masing (dalam hal ini, keluarga saya merupakan penganut agama Katolik) tetap tidak menjadi penghalang untuk berdoa kepada leluhur dan nenek moyang, walaupun hanya sekedar untuk menyampaikan salam penghormatan. Akan tetapi ritual sembahyang tetap dilakukan, yang menjadi ritual utama pada umumnya dilakukan setiap tahun sekali, yaitu prosesi perayaan tahun baru Imlek, Ceng Beng (penghormatan bagi setiap arwah yang sudah meninggal), Cap Go Meh (perayaan pada saat bulan baru), dan sebagainya.
Selain itu, warga keturunan Tionghoa pada umumnya mudah untuk bersosialisasi dengan orang lain, enak untuk diajak bicara, dan juga merupakan orang-orang yang mudah dipercaya. Hal ini saya lihat, dari kepandaian bersilat lidah, kemampuan untuk menarik orang lain ke dalam pembicaraan, dan juga kepandaian dalam mencari peluang berbisnis. Tidak dapat dipungkiri, bahwa roda perekonomian Indonesia sedikit banyak juga mendapat sumbangsih dari warga keturunan Tionghoa yang menjadi seorang pengusaha sukses. Banyak yang beranggapan hal ini dipengaruhi dari saat abad ke 14 dan 15, pada saat perdagangan saudagar-saudagar Cina yang melakukan perdagangan di selat Malaka dan Sunda. Hal ini membawa pengaruh yang cukup signifikan terhadap garis keturunan mereka.
Selain itu, dalam hal kuliner, masyarakat Tionghoa juga membawa pengaruh yang cukup signifikan, ditandai dengan menjamurnya restoran-restoran Chinese Food yang bahkan sering kali pemiliknya bukanlah seorang warga keturunan. Selain itu dapat dilihat juga dari pedagang mie ayam keliling, yang walaupun bukan warga keturunan, dapat menyajikan mie ayam dengan bumbu dan resep yang sama seperti aslinya. Hal ini tentunya semakin menambah keanekaragaman budaya Indonesia. Selain itu, seiring dengan semakin terbukanya pemikiran masyarakat, hingga kini masyarakat Tionghoa dengan masyarakat pribumi dapat hidup berdampingan dengan damai, hal yang tidak mudah dilakukan pada saat rezim Orde Baru.
 Persepsi Masyarakat

Persepsi masyarakat secara umum terhadap warga keturunan Tionghoa beranekaragam. Mulai dari yang negatif seperti licik, picik, egois, suka menang sendiri, menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan, suka menipu, dan sebagainya. Banyak orang yang beranggapan bahwa etnis Tionghoa merupakan orang yang patut diwaspadai, hal ini saya anggap kurang bisa mewakili, karena merupakan persepsi dari satu-dua orang saja. Saya mengakui bahwa memang benar banyak warga keturunan Tionghoa yang picik dan suka memanfaatkan orang lain, sehingga benar-benar merusak citra dari suku Tionghoa itu sendiri.

Hal-hal positif yang merupakan anggapan dari masyarakat adalah etnis Tionghoa merupakan pebisnis handal yang mampu memanfaatkan setiap peluang, seseorang yang taat dan hormat terhadap leluhur dan nenek moyang, merupakan etnis yang mengekspresikan dirinya secara terbuka, etnis dengan akar kebudayaan unik yang terpelihara hingga sekarang, dan juga etnis yang selalu berkumpul bersama keluarga dalam merayakan hari besarnya.
Walaupun begitu, banyak yang masih beranggapan bahwa masyarakat Tionghoa merupakan suku yang rasis, berdasarkan pada sikap dan tingkah laku sehari-hari dari masyarakatnya. Sependengaran saya, pada saat rezim Orde Baru, masyarakat Tionghoa secara tidak adil dibatasi hak-haknya, seperti contoh tidak boleh merayakan hari besar Imlek, dan sebagainya. Oleh karena itu secara tidak langsung muncul sebuah trauma yang mendalam dalam diri masyarakat Tionghoa pada umumnya. Akan tetapi seiring dengan perubahan zaman, perubahan konstitusi dimana masyarakat Tionghoa dapat kembali merayakan hari-hari besarnya, dan juga boleh untuk mengekspresikan dirinya secara bebas, hal-hal ini secara sedikit demi sedikit dan berkontinu dapat dikurangi.
 Perbandingan Persepsi Pribadi dengan Persepsi Masyarakat

Secara khusus, sedikit demi sedikit persepsi negatif orang lain terhadap etnis Tionghoa akan terkikis hingga mungkin akan hilang, jikalau setiap penduduk dapat hidup berdampingan dengan damai tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras dan golongan. Yang saya lihat dalam kehidupan Jakarta sekarang ini, masyarakat dalam berbagai latar-belakang sudah mampu menerima keunikan dari masyarakat berlainan ras. Walaupun begitu, kadangkala masih terdapat anjuran dari sesepuh keluarga, seperti tradisi perkawinan dengan sesama warga keturunan, sehingga halangan walaupun sedikit masih tetap ada.
Hal-hal seperti ini dianggap sebagai suatu tradisi yang harus dijaga, dalam hal berketurunan Tionghoa. Walaupun begitu pemikiran-pemikiran dari orang lain sedikit banyak bertolak belakang dengan pandangan saya. Mungkin hal ini disebabkan karena semakin berkembangnya zaman, maka pemikiran saya semakin terbuka, yaitu menilai orang lain bukan dari ras masing-masing individu. Oleh karena itu saya kurang menyetujui tradisi perkawinan antar etnis Tionghoa. Walaupun begitu, sedapat mungkin konflik dengan masyarakat lain mampu dikurangi, dan akhirnya dapat hidup berdampingan dengan damai.

No comments:

Post a Comment